Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta
semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas nikmat dan
rahmat-Nya . Shalawat berangkai salam tetap kita hadiakan kepada Nabi Muhammad
Shalallahu'alaihi wa Sallam, keluarga, sahabat, serta segenap pengikutnya...
Alhamdulillah kali ini kita masih dipertemukan kembali dalam
agenda KALAM (Kajian Islam) UKMI POLMED. Yang tentunya sangat special buat
warga Islam UKMI POLMED tentunya.
Tepat pada :
Hari : Rabu
Tanggal; 19 Oktober 2016
Pukul : 14.00 Wib
Tempat: Halaman Musholla polmed
Telah mengadakan agenda yangTentunya dengan pembahasan yang sangat seru, Apa itu???
Ia kali ini KALAM (Kajian Islam) UKMI POLMED mempersembahkan
dengan TEMA “TAUHID”.
Kali ini tak ada video tak banyak kata yang ada hanya foto
Dan tentunya sangat
seru dan bermanfaat tentunya apa lagi
ada
-Materi ok
-Snack ok
-Ukhuwah ok
-Duduk duduk berpahala
Nah bicara tentang TAUHID, inilah inti dari ajaran Islam
langsung saja kita lihat dan kita baca, jangan hanya lihat tak dibaca, karena
membaca adalah jendela ilmu kita dan setelah dibaca ia diamalkan tentunya.
Amma ba’du:
Ini adalah lembaran-lembaran kecil, tulisan-tulisan di
dalamnya memuat beberapa kalimat yang berkaitan dengan perintah Allah Ta’ala yang
paling agung yaitu tauhid, dan larangan Allah Ta’ala yang sangat
berbahaya yaitu syirik.
Saudaraku, pembaca yang budiman… Sebagaimana diyakini oleh
Ahlu Sunnah wal Jamaah yang berjalan di atas manhaj Salaf bahwa tidaklah Allah
Ta’ala mengutus para Rasul dan menciptakan makhluk melainkan dalam rangka
merealisasikan tauhid, meninggalkan, serta menjauhi syirik. Tatkala musuh besar
kita syaithan yang terkutuk mengetahui hal ini, maka ia mengirim pasukannya
untuk mamalingkan hamba-hamba Allah Ta’ala sesuai tingkatan mereka dari
mempelajari tauhid dan mengamalkannya, baik para dai’nya, mad’u (orang-orang
yang didakwahi), para ulama’, maupun masyarakat awam, kecuali orang-orang yang
dirahmati oleh Allah Ta’ala. Ia menggoda para da’i untuk meninggalkan dakwah
tauhid dengan alasan dakwah tauhid akan memecah belah persatuan dan kesatuan,
atau dengan alasan orang-orang tidak akan berinteraksi dengannya, atau
orang-orang sudah mengilmuinya. Dan seterusnya, tidak akan habis alasan yang
dikemukakan. Bagaimana bisa kita meninggalkan dakwah tauhid karena
alasan-alasan seperti ini, yang sama sekali tidak pernah dipedulikan oleh para
Nabi dan para Rasul? Tahukah anda kenapa demikian? Karena mereka mengetahui
–sesuai ilmu yang Allah Ta’ala ajarkan kepada mereka– bahwa tujuan mendakwahi
manusia adalah mentauhidkan Allah Ta’ala. Tidak ada jalan keselamatan
kecuali jalan mereka – Jalan mereka itu satu–, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah ia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya, yang demikian itu diperintahkan Allah
agar kamu bertakwa.”(Al-An’am : 153).
Tugas para da’i yang benar hanyalah menghidupkan dakwah para
Rasul yaitu mentauhidkan Allah Ta’ala.
Diantara bentuk godaan syaithan kepada orang awam yaitu
anggapan bahwa tauhid adalah perkara yang mudah dipelajari, dan kita sudah
bertauhid. Maka untuk apa kita menyebarkan dakwah tauhid?
Kita katakan, Subahaanallah.. bagaimana bisa
dikatakan demikian, sementara telah tersebar di berbagai negeri Islam dan
negeri-negeri lain kegelapan syirik besar yang nyata, sebagaimana akan datang
penjelasannya. Kemudian seandainya syirik merupakan sesuatu yang mudah
diketahui maka kita tetap butuh agar senantiasa diingatkan (akan bahayanya),
dan senantiasa butuh berdoa kepada Allah Ta’ala agar dijauhkan darinya. Sebab
kita tidak akan bisa seperti Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam (orang yang
sempurna Imannya), walupun demikian beliau tetap memohon kepada Rab-Nya Ta’ala
agar (dijauhkan dari kesyirikan).
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku,
Jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta
anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala” (Ibrahim : 35).
Ibrahim at-Taimi rahimahullah berkata: “Siapakah
yang merasa aman dari musibah ini (terjerumus ke dalam kesyirikan) setelah
Ibrahim ‘Alaihissalam” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir
At-Thabari).
Kita tidak akan bisa seperti para Sahabat Rasulullah
–sebaik-baik generasi– Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam senantiasa
mengingatkan mereka agar bertauhid, bahkan ketika sakit menjelang wafatnya Shallallahu
alaihi wasallam.
Wahai segenap manusia marilah belajar tauhid dan
mendakwahkannya, karena mempelajari tauhid, mendakwahkan, serta mengamalkannya
merupakan sebab tegaknya negeri Islam di dunia, dan merupakan sebab meraih
Surga Firdaus di akhirat. Allah Ta’ala berfirman :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di
antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar
(keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka
tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku.
dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah
orang-orang yang fasik”. (An-Nuur : 55).
Nah, artikel yang kami ambil dari kitab Mukhalafaat fii
at-Tauhid, ini masih sebagian dari dasar mengenai ilmu Tauhid maka dari itu
tunggu kelanjutannya hanya di blog ldkukmipolmed.blogspot.co.id dan bisa langsung cari di muslim.or.id
***
Sumber: kitab Mukhalafaat fii at-Tauhid, hal. 3-5,
karya Syaikh Abdul Aziz bin Rais ar-Rais
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam
semesta semoga kita semua termasuk hamba-Nya yang senantiasa bersyukur atas
nikmat dan rahmat-Nya . Shalawat berangkai salam tetap kita hadiakan kepada
Nabi Muhammad Shalallahu'alaihi wa Sallam, keluarga, sahabat, serta segenap
pengikutnya...
Hai, adik-adik,abang-abang dan kakak-kakak para sahabat
Muslim/ah POLMED. Salam manis buat para pengunjung blok UKMI POLMED.
Langsung saja ini ke intinya (*_*).
Kamu suka Petualangan?? Suka Berkreasi?? Muslim yang
Tangguh dan Ingin Menambah Pengalaman yang sangat Sangat sangaaaatt bermanfaat
dan Seru??
Ayo sobat Ikuti JEJAK UKMI (Jelajah Alam Ukmi) "My
Trip My Dakwah", Hari Sabtu Minggu (22-23 Okt16) Tempat Polmed & Alam
Pancur Batu.
Sobat KERABAT !!! Waaahhh Tidak terasa ia.. tinggal 2
hari lagi menuju acara JEJAK UKMI
(Jelajah Alam Ukmi).
Gimana sobat ??? sudah pada daftar belum ???
Ayooo buruan daftar dan ajak teman-teman yang lain…
Seruh dan bermanfaat tentunya kegiatannya, apa lagi
dengan “TEMA "My Trip My Dakwah"
Memang terlihat extreme tapi jangan dilihat extremenya
lihat dalamnya ndak bakalan nyesel dech ikutin kegiatannya.
Nah mari lihat sedikit cuplikan dokumentasi singkat yang
mungkin bias membuat rekan-rekan sekalian tergugah hati untuk mengikuti JEJAK
UKMI (Jelajah Alam Ukmi) yang diambil tahun 2014.lama ia tahun 2014 tapi ndak apa kebetulan yang ana punya hanya itu (*_*).
Sudah lihat tunggu apa lagi AYO Ambil Formulir
Pendaftarannya di Mushallah Polmed Atau Menghubungi Pantia : (082272270732-
ikhwan)
(081375008670- Akhwat)
aY0ok jangan tunggu-tunggu lagi.. jangan ragu-ragu lagi..
Allah selalu bersama niat baik..kita Insya Allah :)
Kembali lagi LDK UKMI POLMED dengan agenda KALAM (Kajian Islam),
Agenda ini yang bertempat di Musholah POLMED, pada Hari
Kamis 13 oktober 2016 pukul 17.00 WIB s/d selesai. Nah,, kalau KALAM minggu
kemaren kita membahas tentang Apa itu FIQIH, KALAM kali ini bertemakan TASAWUF.
Dan inilah beberapa cuplikan hasil dokumentasi kalam yang
kami ambil lewat UKMI POLMED TV dan insya Allah yang hadir pada Hari Kamis 13 Oktober
2016 mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan barokah.
Adapun *Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang
Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah*
*Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh
Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif
Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit
perubahan
Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman
sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan
menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode
Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah.
Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas
simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita
simpulkan sebagai berikut.
Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan)
saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa
takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan
beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan
karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk
neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan
berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja
-sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu
memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah,
seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan),
doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa
yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata
maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah
dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa
yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata
maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang
beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan
pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang
bertauhid dengan benar)”.Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji
sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka
senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka
adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
siksaan-Nya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan
orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti
ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi
ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka
terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani
yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang
dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam
menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al
‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’,
Riyadh). Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja
tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke
jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.
Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan
agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah,
tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran
yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa Thariqat-thariqat bid’ah,
berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang
mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya),
mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan
keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli
Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang
teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang
Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang
bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang
tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari
kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka
menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama
bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib
mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”.
Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan
berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan
diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan
mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri
kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak
jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada
membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As
Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa
Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun
“zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya
orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang
menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum,
dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta
zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia),
maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang
berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلِاللّهُثُمَّذَرْهُمْفِيخَوْضِهِمْيَلْعَبُونَ
“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam
kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).
(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang
paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli
Tasawuf, bahkan ini termasuk
menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya
kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab
pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam
firman-Nya:
“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang
dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab
itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan
(sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan
kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah:
Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).
Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah
yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu
‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)
Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem)
orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan
guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal
Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala
(mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa
jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza
wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah
orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan
kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu
ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada
orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah
wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai
wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari
kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita
terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.
Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat
berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli
Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan
dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka
menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi
dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak
jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal
keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan
dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan
menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang
mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”
melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
ucapan salah seorang dari mereka:
Kedudukan para Nabi di alam Barzakh
Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali
Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para
wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu
‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu
terjaga dari kesalahan?!.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati
mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya
dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau
orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti
menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke
Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko
dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan
kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu
melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat
barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau
orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini
sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza
wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat
mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di
atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai
kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak
pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan
Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di
udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan
oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa
dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali
tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas
adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).
Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak
sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui
batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”,
sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat
ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui
hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan
kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh
Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian
sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik
dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza
wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya
keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan
ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar
dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan
syirik lainnya.
Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah
mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian,
tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap
sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah
berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat
ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat
sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana
para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang
terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita,
sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai
jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa
kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal
dunia…”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa
perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di
awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir,
Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin
beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang
berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat
(seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah
perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan
ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung
mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy
Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh
orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (At
Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk
zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam
Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan
apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami (?), apakah ada
perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau
demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca
sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid
islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara
pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen), yang mereka
jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid
bin Harun berkata: “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang
fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”
Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau
menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka
beliau ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan
perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya
mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih
tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin
Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin
Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).
Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?)
kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah
tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka)
yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai
main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada
hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan
mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat
Kami” (QS. Al A’raaf: 51).
Keenam, juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat
adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika
seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan
syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran
Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan oleh
Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya
memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak
yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.
Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang
dipraktekkan oleh pendahulu-
pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan
dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai
macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan
ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi
belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya
penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka
dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama
adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu),dan ketika Iblis telah
berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan
tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang
dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia
secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan
oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan
mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia
untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa
diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur
(sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini),
akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar.
Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu
tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.
Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang
mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan
mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi
yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang
mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf dan mengkhususkannya
dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan
sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan
jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan),
kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat
aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan)
kedudukan mereka (orang-orang ahli Tasawuf), sehingga (semakin lama mereka
semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang
tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu Tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu
tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu
lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa
mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan
kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang)
mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang
kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang
mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla).
Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan
bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga
menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut
keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud,
dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah
(penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata
cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza
wa jalla syari’atkan dalam agama islam)” (Kitab Talbis Iblis, tulisan
Ibnul Jauzi hal. 157-158).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang
sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai
tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab:
“Tidak diragukan lagi -menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan
orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang
paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang
Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani
sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka
itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah
dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya…
Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama
islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik
(keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas
dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara
keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari
ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali
tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan
mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada
sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa
Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim shallallahu
‘alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk
membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah‘azza wa jalla:
وَاعْبُدْرَبَّكَحَتَّىيَأْتِيَكَالْيَقِينُ
“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang
diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).
Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu
sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah
mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”. (Pada
Hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak
membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian
Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat
tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa
sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti
yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:
“Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk
ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak
termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi
makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang
yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah
pada kami sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Muddatstsir: 42-47).
Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan
(bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk
penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang
menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat,
mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang
membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)… yang maksudnya
adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin
(kematian)” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).
Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan
kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa
dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama
sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika
seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya,
sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
sumber: muslim.or.id ldkukmipolmed
Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam atas nikmat dan
rahmat-Nya . Shalawat berangkai salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Shalallahu'alaihi wa Sallam, keluarga, sahabat, serta segenap pengikutnya...
Alhamdulillah UKMI POLMED telah menghadirkan agenda
kegiatan bertajuk bintang, MABIT (Malam Bina Iman dan takwa) feat Mc D
(Mushollah Clean Day) yang tentunya sangat bermanfaat dan sangat sanyang untuk
dilewatkan.
Terbukti dengan diadakannya MABIT (Malam Bina Iman dan
takwa) dan dilanjutkan paginya Mc D (Mushollah Clean Day) yang diadakan mulai
Hari Sabtu pukul 19.00 s/d selesai (nginap di Mushollah)
Sebagian para peserta sangat antusias dan semangat untuk mengikuti
kegiatan MABIT (Malam Bina Iman dan takwa) feat Mc D (Mushollah Clean Day). dan inilah sedikit dokumentasi MABIT,
langsung saja saksikan keseruannya (*_*)
Nah.. ada apa saja di kegiatan MABIT (Malam Bina Iman dan
takwa) feat Mc D (Mushollah Clean Day)
mari lihat dibawa ini:
1. materi ok
2. jama'ah it's ok
3. jagung party
4. fun
5. sweet ukhuwah
6. tahajjud bareng
7. amal jama'i
8. futsal bareng
Sedikit ulasan tentang
Menundukkan Pandangan dalam Islam
Penulis: Ustadz Firanda Andirja
“Mencuci mata” sudah menjadi kebiasaan dan budaya banyak
orang terutama di kalangan para muda. Nongkrong di pinggir jalan untuk “mencuci
mata”, menikmati pemandangan alam yang indah dan penuh pesona sudah menjadi
adat sebagian orang. Namun yang menjadi pertanyaan adalah alam apakah yang sedemikian
indahnya sehingga menjadikan para pemuda begitu banyak yang tertarik dan
terkadang mereka nongkrong hingga berjam-jam? Ternyata alam tersebut adalah
wajah manis para wanita. Apalagi sampai terlontar dari sebagian mereka
pemahaman bahwa memandang wajah manis para wanita merupakan ibadah dengan
dalih, “Saya tidaklah memandang wajah para wanita karena sesuatu (hawa nafsu),
namun jika saya melihat mereka saya berkata, “Maha sucilah Allah, Pencipta Yang
Paling Baik”
Ini jelas merupakan racun syaithan yang telah merasuk
dalam jiwa-jiwa sebagian kaum muslimin. Pada hakekatnya istilah yang mereka
gunakan (cuci mata) merupakan istilah yang telah dihembuskan syaithan pada
mereka. Istilah yang benar adalah “Mengotori mata”.
Kebiasaan yang sudah merebak seantero
dunia ini memang sulit untuk ditinggalkan. Bukan cuma orang awam saja yang
sulit untuk meninggalkannya bahkan betapa banyak ahli ibadah yang terjerumus ke
dalam praktek “ngotori mata” ini. Masalahnya alam yang menjadi fokus pandangan
sangatlah indah dan dorongan dari dalam jiwa untuk menikmati pesona alam itupun
sangat besar.
Oleh karena itu penulis mencoba untuk memaparkan beberapa perkara yang
berkaitan dengan hukum pandangan, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan
juga bagi saudara-saudaraku para pembaca yang budiman.
Fadhilah menjaga pandangan
Menjaga pandangan mata dari memandang hal-hal yang
diharamkan oleh Allah merupakan akhlak yang mulia, bahkan Rasulullah s.a.w
menjamin masuk surga bagi orang-orang yang salah satu dari sifat-sifat mereka
dalah menjaga pandangan.
Abu Umamah berkata,”Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Berilah jaminan padaku enam perkara, maka aku jamin bagi
kalian surga. Jika salah seorang kalian berkata maka janganlah berdusta, dan
jika diberi amanah janganlah berkhianat, dan jika dia berjanji janganlah
menyelisihinya, dan tundukkanlah pandangan kalian, cegahlah tangan-tangan
kalian (dari menyakiti orang lain), dan jagalah kemaluan kalian.”
Bahkan orang jahiliyahpun mengetahui bahwa menjaga
pandangan adalah akhlak yang mulia. Berkata ‘Antarah bin Syaddad seorang
penyair di zaman jahiliyah:
“Dan akupun terus menundukkan pandanganku tatkala tampak
istri tetanggaku sampai masuklah dia ke rumahnya"
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdilmuhsin Al-’Abbad –Hafidzohumulloh- berkata,”Inilah
salah satu akhlak mulia yang dipraktekkan oleh orang pada zaman jahiliyah,
namun yang sangat memprihatinkan justru kaum muslimin di zaman sekarang
meninggalkannya.”
Menjaga pandangan di zaman sekarang ini sangatlah sulit
Menjaga pandangan dari hal-hal yang dilarang memang
perkara yang sangat sulit apalagi di zaman sekarang ini. Hal-hal yang
diharamkan untuk dipandang hampir ada disetiap tempat, di pasar, di rumah
sakit, di pesawat, bahkan di tempat-tempat ibadah. Majalah-majalah, koran-koran,
televisi (ditambah lagi dengan adanya parabola), gedung-gedung bioskop penuh
dengan gambar-gambar seronok dan porno alias para wanita yang berpenampilan
vulgar. Wallahul Musta’an…
Bagaimana para lelaki tidak terjebak dengan para wanita
yang aslinya merupakan keindahan kemudian bertambah keindahannya tatkala para
wanita tersebut menghiasi diri mereka dengan alat-alat kecantikan, dan lebih
bertambah lagi keindahannya jika yang menghiasi adalah syaithan yang memang
ahli dalam menghiasi para wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata
“Wanita adalah aurat, jika ia keluar maka syaitan
memandangnya”
Berkata Al-Mubarokfuuri, “Yaitu syaitan menghiasi wanita
pada pandangan para lelaki, dan dikatakan (juga) maksudnya adalah syaitan
melihat wanita untuk menyesatkannya dan (kemudian) menyesatkan para lelaki
dengan memanfaatkan wanita tersebut sebagai sarana…”
Diantara penyebab terjangkitinya banyak orang dengan
penyakit ini, bahkan menimpa para penuntut ilmu, karena sebagian mereka telah
dibisiki syaithan bahwasanya memandang wanita tidaklah mengapa jika tidak
diiringi syahwat. Atau ada yang sudah mengetahui bahwasanya hal ini adalah dosa
namun masih juga menyepelekannya. Yang perlu digaris bawahi adalah banyak
sekali orang yang terjangkit penyakit ini dan mereka terus dan sering
melakukannya dengan tanpa merasa berdosa sedikitpun, atau minimalnya mereka
tetap meremehkan hal ini, padahal ada sebuah kaedah penting yang telah kita ketahui
bersama yaitu
لاَصَغِيْرَةَمَعَالإصْرَار
Tidak lagi disebut dosa kecil jika (perbuatan maksiat
itu) dilakukan terus menerus.
Hukum memandang wajah wanita yang bukan mahram.
Dari Jarir bin Abdillah radliyallahu ‘anhu , ia berkata,
“Saya bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
pandangan yang tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau memerintahan aku untuk
memalingkan pandanganku”
Dari Buraidah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Ali radliyallahu ‘anhu,
“Wahai Ali janganlah engkau mengikuti pandangan (pertama
yang tidak sengaja) dengan pandangan (berikutnya), karena bagi engkau pandangan
yang pertama dan tidak boleh bagimu pandangan yang terakhir (pandangan yang
kedua)”
Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membonceng Al-Fadl lalu datang seorang
wanita dari Khots’am. Al-Fadl memandang kepada wanita tersebut –dalam riwayat
yang lain, kecantikan wanita itu menjadikan Al-Fadl kagum- dan wanita itu juga
memandang kepada Al-Fadl, maka Nabipun memalingkan wajah Al-Fadl kearah lain
(sehingga tidak memandang wanita tersebut)…”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah
Al-Fadl sehingga tidak lagi memandang wajah wanita tersebut, jelaslah hal ini
menunjukan bahwa memandang wajah seorang wanita (yang bukan mahram) hukumnya
haram.
Bahayanya Tidak Menjaga Pandangan Mata.
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, العَيْنَانِتَزْنِيَانِوَزِنَاهُمَاالنَّظْرُ
“Dua mata berzina, dan zina keduanya adalah pandangan”
Penamaan zina pada pandangan mata terhadap hal-hal yang
haram merupkan dalil yang sangat jelas atas haramnya hal tersebut dan merupakan
peringatan keras (akan bahayanya), dan hadits-hadits yang semakna hal ini
sangat banyak
Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, “Hendaknya
mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat”, dan katakanlah kepada para wanita yang beriman,
“Hendaknya mereka menahan sebagian pandangan mereka dan memelihara kemaluan
mereka…..
Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai
orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung. (An-Nuur 30-31)
Berkata Syaikh Utsaimin,“Ayat ini merupakan dalil akan
wajibnya bertaubat karena tidak menundukan pandangan dan tidak menjaga kemaluan
-menundukkan pandangan yaitu dengan menahan pandangan dan tidak mengumbarnya-
karena tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga kemaluan merupakan sebab
kebinasaan dan sebab kecelakaan dan timbulnya fitnah. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda,
Dan sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa bani Israil adalah fitnah
wanita.
Oleh karena itu musuh-musuh Islam bahkan musuh-musuh
Allah dan RasulNya dari golongan Yahudi, Nasrani, orang-orang musyrik, dan
komunis, serta yang menyerupai mereka dan merupakan antek-antek mereka , mereka
semua sangat ingin untuk menimpakan bencana ini kepada kaum muslimin dengan
(memanfaatkan) para wanita. Mereka mengajak kepada ikhtilath (bercampur baur)
antara para lelaki dan para wanita dan menyeru kepada moral yang rusak. Mereka
mempropagandakan hal itu dengan lisan-lisan mereka, dengan tulisan-tulisan
mereka, serta dengan tindak-tanduk mereka -Kita berlindung kepada Allah- karena
mereka mengetahui bahwa fitnah yang terbesar yang menjadikan seseorang
melupakan Robnya dan melupakan agamanya hanyalah terdapat pada wanita.
Dan para wanita memberi fitnah kepada para lelaki yang
cerdas sebagaimana sabda Nabi,
“Tidak pernah aku melihat orang yang kurang akal dan
agamanya yang lebih membuat hilang akal seorang lelaki tegas dari pada salah
seorang dari kalian (wahai para wanita)”.
Apakah engkau ingin (penjelasan) yang lebih jelas dari
(penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gamblang) ini?
Tidak ada yang lebih dari para wanita dalam hal
melalaikan akal seorang laki-laki yang tegas, lalu bagiamana dengan pria yang
lemah, tidak memiliki ketegasan, tidak memiliki semangat, tidak memiliki agama
dan kejantanan? Tentunya lebih parah lagi.
Namun seorang pria yang tegas dibuat “teler” oleh para
wanita –kita mohon diselamatkan oleh Allah- dan inilah kenyataan yang terjadi.
Oleh karena itu setelah Allah memerintah kaum mukminin untuk menundukan
pandangan Allah berkata,
Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah wahai
orang-orang yang beriman semoga kalian beruntung.
Maka wajib atas kita untuk saling menasehati untuk
bertaubat dan hendaknya saling memperhatikan antara satu dengan yang lainnya
apakah seseorang diantara kita telah bertaubat ataukah masih senantiasa
tenggelam dalam dosa-dosanya, karena Allah mengarahkan perintah untuk bertaubat
kepada kita semua.
Perintah Allah secara khusus untuk bertaubat dari tidak
menjaga pandangan mata menunjukan bahwa hal ini bukanlah perkara yang sepele.
Pandangan mata merupakan awal dari berbagai macam malapetaka. Barangsiapa yang
semakin banyak memandang kecantikan seorang wanita yang bukan mahramnya maka
semakin dalam kecintaannya kepadanya hingga akhirnya akan mengantarkannya
kepada jurang kebinasaannya, Wal ‘iyadzu billah.
Berkata Al-Marwazi,“Aku berkata kepada Abu Abdillah (Imam
Ahmad bin Hanbal), Seseorang telah bertaubat dan berkata ,”Seandainya
punggungku dipukul dengan cambuk maka aku tidak akan bermaksiat”, hanya saja
dia tidak bisa meninggalkan (kebiasaan tidak menjaga) pandangan?”, Imam Ahmad
berkata, “Taubat macam apa ini”?
Berkata Syaikh Muhammad Amin, “Dengan demikian engkau
mengetahui bahwasanya firman Allah يَعْلَمُخَائِنَةَالأَعْيُنِ (Dia mengetahui
pandangan mata yang berhianat) merupakan ancaman terhadap orang yang berkhianat
dengan pandangannya yaitu dengan memandang kepada perkara-perkara yang tidak
halal baginya”
Berkata Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini يَعْلَمُخَائِنَةَالأَعْيُنِ (Dia mengetahui
pandangan mata yang berhianat), “Seorang pria berada bersama sekelompok orang.
Kemudian lewatlah seorang wanita maka pria tersebut menampakkan kepada
orang-orang yang sedang bersamanya bahwa dia menundukkan pandangannya, namun
jika dia melihat mereka lalai darinya maka diapun memandang kepada wanita yang
lewat tersebut, dan jika dia takut ketahuan maka diapun kembali menundukkan
pandangannya. Dan Allah telah mengetahui isi hatinya bahwa dia ingin melihat
aurat wanita tersebut.”
Dari Abdullah bin Abi Hudzail berkata, “Abdullah bin
Mas’ud masuk dalam sebuah rumah mengunjungi seseorang yang sakit, beliau
bersama beberapa orang. Dan dalam rumah tersebut terdapat seorang wanita maka
salah seorang dari mereka orang-orang yang bersamanya memandang kepada wanita
tersebut, maka Abdullah (bin Mas’ud) berkata kepadanya,“Jika matamu buta tentu
lebih baik bagimu””
Jangankan memandang paras ayu sang wanita, bahkan
memandangnya dari belakangnya saja, atau bahkan hanya memandang roknya saja
bisa menimbulkan fitnah. Akan datang syaithan dan mulai menghiasi sekaligus
mengotori benak lelaki yang memandangnya dengan apa yang ada di balik rok
tersebut. Jelaslah pandangannya itu mendatangkan syahwat.
Berkata Al-‘Ala’ bin Ziyad, “Janganlah engkau mengikutkan
pandanganmu pada pakaian seorang wanita. Sesungguhnya pandangan menimbulkan
syahwat dalam hati”
Demikianlah sangat takutnya para salaf akan bahayanya
mengumbar pandangan, dan perkataan mereka ini bukanlah suatu hal yang
berlebihan, bahkan bahaya itupun bisa kita rasakan. Namun yang sangat
menyedihkan masih ada di antara kita yang merasa dirinya aman dari fitnah
walaupun mengumbar pandangannya. Hal ini tidaklah lain kecuali karena dia telah
terbiasa melakukan kemaksiatan, terbiasa mengumbar pandangannya, sehingga
kemaksiatan tersebut terasa ringan di matanya. Dan ini merupakan ciri-ciri orang
munafik. Berkata Abdullah bin Mas’ud r.a,
“Seorang mu’min memandang dosa-dosanya seperti gunung
yang ia berada di bawah gunung tersebut, dia takut (sewaktu-waktu) gunung
tersebut jatuh menimpanya. Adapun seorang munafik memandang dosa-dosanya
seperti seekor lalat yang terbang melewati hidungnya lalu dia pun mngusir lalat
tersebut.”
Bahkan tatkala seseorang sedang melaksanakan ibadah
sekalipun, hendaknya dia tidak merasa aman dan tetap menjaga pandangannya.
Berkata Al-Fadl bin ‘Ashim,”Tatkala seorang pria sedang
thawaf di ka’bah tiba-tiba dia memandang seorang wanita yang ayu dan tinggi
semampai, maka diapun terfitnah disebabkaan wanita tersebut, hatinyapun
gelisah. Maka diapun melantunkan sebuah syair,
Aku tidak menyangka kalau aku bisa jatuh cinta….tatkala
sedang thawaf mengelilingi rumah Allah yang diberi “kiswah”…
Hingga akhirnya akupun ditimpa bencana maka jadilah aku setengah gila…
Gara-gara jatuh cinta kepada seorang seorang wanita yang parasnya menawan
laksana rembulan…
Duhai…sekirainya aku tidak memandang elok rupanya
Demi Allah apa kiranya yang bisa aku harapkan dari
pandanganku dengan memandangnya? “
Berkata Ma’ruf Al-Kurkhi , “Tundukkanlah pandangan kalian
walaupun kepada kambing betina”
Berkata Sufyan At-Tsauri menafsirkan firman Allah وَخُلِقَالإِنْساَنُضَعِيْفًا (Dan manusia
dijadikan bersifat lemah 4,28), “Seorang wanita melewati seorang pria, maka
sang pria tidak mampu menguasai dirinya untuk menunudukkan pandangannya pada
wanita tersebut…maka adakah yang lebih lemah dari hal ini?”
Berkata seorang penyair ,”Namun kadang seorang pria tak
berdaya, tekuk lutut dibawah kerling mata wanita”
Praktek para salaf dalam menjaga pandangan.
Dari Al-Mada’ini dari syaikh-syaikh beliau berkata,
“Sebagian orang pemerintahan di Bashrah hendak bertemu dengan Dawud bin
Abdillah, maka Dawudpun pergi (menuju Bashrah) dan singgah di rumah salah
seorang sahabat beliau yang terletak di pinggiran Bashrah. Sahabatnya ini
adalah seorang yang sangat pencemburu. Dia memiliki seorang istri yang bernama
Zarqaa’ yang cantik jelita. Pada suatu saat sahabatnya ini keluar karena ada
suatu keperluan, maka diapun berpesan kepada istrinya untuk bersikap
ramah dan melayani Dawud. Tatkala kembali kerumahnya diapun berkata kepada
Dawud, “Bagaimana menurutmu dengan si Zarqaa’?, bagaimana sikap ramahnya
kepadamu?”. Dawud berkata, “Siapa itu Zarqaa’?”, dia berkata, “Yang mengurusimu
dirumah ini”. Dawud berkata, “Saya tidak tahu dia si Zarqaa’ atau si Kahlaa’?”.
Lalu istrinya menemuinya maka diapun marah dan berkata, “Aku telah berpesan
kepadamu agar ramah dan melayani Dawud, lalu mengapa tidak kau lakukan
pesanku?”. Istrinya berkata, “Engkau telah berpesan kepadaku untuk melayani
seorang yang buta, demi Allah dia sama sekali tidak melirik kepadaku!”
Dari Muhammad bin Abdillah Az-Zarraad berkata, “Hassaan
(bin Abi Sinan) keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied, tatkala dia kembali dikatakan
kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, kami tidak melihat hari raya ‘ied yang
wanitanya paling banyak (keluar ikut shalat ‘ied) dari pada ‘ied tahun ini! Dia
berkata,“Tidak ada seorang wanitapun yang bertemu denganku hingga aku
kembali!”. Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa tatkala dia kembali
istrinya berkata kepadanya, “Berapa wanita cantik yang engkau lihat hari ini?”
(Hasan diam tidak menjawab) namun tatkala istrinya terus mendesaknya diapun
berkata, “Celaka engkau! saya tidak melihat kecuali pada jempol kakiku semenjak
saya keluar darimu hingga saya kembali kepadamu!"
Berkata Sufyan,“Ar-Robi’ bin Khutsaim selalu menundukkan
pandangannya. (Pada suatu hari) lewatlah di depannya sekelompok wanita
maka diapun menundukkan kepalanya hingga para wanita tersebut menyangka bahwa
dia buta. Para wanita tersebutpun berlindung kepada Allah dari (ditimpa)
kebutaan”
Salaf tidak hanya menjaga pandangan mereka dari hal-hal
yang diharamkan, bahkan mereka juga menjaga pandangan mereka dari hal-hal yang
tidak perlu.
Seorang laki-laki berkata kepada Dawud At-Tha’i,
“Sebaiknya engkau memerintahkan (seseorang) untuk membersihkan sarang laba-laba
yang ada di langit-langit rumah”!, Dawud berkata, “Tidakkah engkau tahu
bahwasanya memandang yang tidak perlu itu dibenci?”, lalu Dawud berkata,“Aku
dikabarkan bahwa dirumah Mujahid lantai dua ada sebuah kamar, namun Mujahid
tidak tahu sama sekali selama tiga puluh tahun.”
Hal ini menunjukan kesungguhan salaf dalam menjaga
pandangan mereka, sampai-sampai sarang laba-laba yang dilangit-langit rumah dan
kamar yang ada di lantai atas rumah mereka tidak mereka katahui, karena mereka
tidak memandang kepada hal-hal yang tidak perlu sehingga mereka tidak memandang
ke atas karena tidak ada perlunya. Barangsiapa yang membiasakan dirinya
mengumbar pandangannya untuk memandang hal-hal yang tidak perlu maka suatu saat
dia akan memandang hal yang diharamkan oleh Allah. Sungguh jauh berbeda antara
salaf dengan sebagian kita yang tatkala berjalan matanya jelalatan ke sana
kemari.
Akibat buruk tidak menundukkan pandangan mata.
Ibnul Qoyyim berkata, “Kebanyakannya maksiat itu masuk
kepada seorang hamba melalui empat pintu, yang keempat pintu tersebut adalah
kilasan pandangan, betikan di benak hati, ucapan, dan tindakan. Maka hendaknya
seorang hamba menjadi penjaga gerbang pintu bagi dirinya sendiri pada keempat
gerbang pintu tersebut, dan hendaknya ia berusaha terus berjaga ditempat-tempat
yang rawan ditembus oleh musuh-musuh yang akibatnya merekapun merajalela
(berbuat kerusakan) di kampung-kampung kemudian memporak-porandakan dan
meruntuhkan semua bangunan yang tinggi. Adapun pndangan maka dia adalah
pembimbing (penunjuk jalan) bagi syahwat dan utusan syahwat. Menjaga pandangan
merupakan dasar untuk menjaga kemaluan, barangsiapa yang mengumbar pandangannya
maka dia telah mengantarkan dirinya terjebak dalam tempat-tempat kebinasaan.
Pandangan merupakan sumber munculnya kebanyakan malapetaka yang menimpa
manusia, karena pandangan melahirkan betikan hati kemudian berlanjut betikan di
benak hati menimbulkan pemikiran (perenungan/lamunan) lalu pemikiran
menimbulkan syahwat kemudian syahwat melahirkan keinginan kemudian menguat
kehendak tersebut hingga menjadi ‘azam/tekad (keinginan yang sangat kuat) lalu
timbullah tindakan –dan pasti terjadi tindakan tersebut- yang tidak sesuatupun
yang mampu mencegahnya. Oleh karena itu dikatakan “kesabaran untuk menundukan
pandangan lebih mudah daripada kesabaran menahan kepedihan yang akan timbul
kelak akibat tidak menjaga pamdangan”.
Seluruh malapetaka sumbernya berasal dari pandangan…….dan
besarnya nyala api berasal dari bunga api yang kecil
Betapa banyak pandangan yang jatuh menimpa hati yang
memandang…..sebagaimana jatuhnya anak panah yang terlepaskan antara busur dan
talinya
Selama seorang hamba masih memiliki mata yang bisa ia bolak-balikan
(umbar)……maka ia sedang berada di atas bahaya di antara pandangan manusia
Menyenangkan mata apa yang menjadikan penderitaan
jiwanya…..sungguh tidak ada kelapangan dan keselamatan dengan kegembiraan yang
mendatangkan penderitaan.
Diantara akibat tidak menjaga pandangan yaitu menimbulkan
penyesalan yang sangat mendalam dan hembusan nafas yang panjang (tanda
penyesalan) serta kesedihan dan kepahitan yang dirasakan. Seorang hamba akan
melihat dan menghendaki sesuatu yang ia tidak mampu untuk meraihnya dan dia
tidak mampu untuk bersabar jika tidak mampu meraihnya, dan hal ini merupakan
‘adzab (kesengsaraan dan penderitaan) yang sangat berat, yaitu engkau
menghendaki sesuatu yang engkau tidak bisa menahan kesabaranmu untuk
mendapatkannya bahkan engkau tidak bisa sabar walaupun untuk mencicipi sedikit
yang kau inginkan tersebut padahal engkau tidak memiliki kemampuan untuk
meraihnya. Betapa banyak orang yang mengumbar kilasan pandangannya maka
tidaklah ia melepaskan kilasan-kilasan pandangan tersebut kecuali kemudian ia
terkapar diantara kilasan-kilasan pandangan yang dilepaskannya itu. Yang
sungguh mengherankan kilasan pandangan yang diumbar merupakan anak panah yang
tidak sampai menancap kepada yang dipandang agar yang dipandang menyiapkan
tempat untuk hati sipemandang…yang lebih mengherankan lagi bahwasanya pandangan
menggores luka yang parah pada hati sipemandang kemudian luka tersebut tidak
berhenti bahkan diikuti dengan luka-luka berikutnya (karena berulangnya
pandangan yang diumbar oleh si pemandang-pen) namun pedihnya luka tersebut
tidaklah menghentikan sipemandang untuk berhenti mengulang-ulang umbaran
pandangannya. Dikatakan “Menahan umbaran pandangan lebih ringan dibanding
penyesalan dan penderitaan yang berkepanjangan…”.
Berkata Ibnul Qoyyim, “Diriwayatkan bahwasanya dahulu di
kota Mesir ada seorang pria yang selalu ke mesjid untuk mengumandangkan adzan
dan iqomah serta untuk menegakkan sholat. Nampak pada dirinya cerminan ketaatan
dan cahaya ibadah. Pada suatu hari pria tersebut naik di atas menara seperti
biasanya untuk mengumandangkan adzan dan di bawah menara tersebut ada sebuah
rumah milik seseorang yang beragama nasrani. Pria tersebut mengamati rumah itu
lalu ia melihat seorang wanita yaitu anak pemilik rumah itu. Diapun terfitnah
(tergoda) dengan wanita tersebut lalu ia tidak jadi adzan dan turun dari menara
menuju wanita tersebut dan memasuki rumahnya dan menjumpainya. Wanita itupun
berkata, “Ada apa denganmu, apakah yang kau kehendaki?”, pria tersebut berkata,
“Aku menghendaki dirimu”, sang wanita berkata, “Kenapa kau menghendaki diriku?”,
pria itu berkata, “Engkau telah menawan hatiku dan telah mengambil seluruh isi
hatiku”, sang wanita berkata, “Aku tidak akan memnuhi permintaanmu untuk
melakukan hal yang terlarang”, pria itu berkata, “Aku akan menikahimu”, sang
wanita berkata, “Engkau beragam Islam adapun aku beragama nasrani, ayahku tidak
mungkin menikahkan aku denganmu”, pria itu berkata, “Saya akan masuk dalam
agama nasrani”, sang wanita berakta, “Jika kamu benar-benar masuk ke dalam agam
nasrani maka aku akan melakukan apa yang kau kehendaki”. Maka masuklah pria
tersebut ke dalam agama nasrani agar bisa menikahi sang wanita. Diapun tinggal
bersama sang wanita di rumah tersebut. Tatkala ditengah hari tersebut (hari
dimana dia baru pertama kali tinggal bersama sang wanita dirumah tersebut-pen)
dia naik di atas atap rumah (karena ada keperluan tertentu-pen) lalu iapun
terjatuh dan meninggal. Maka ia tidak menikmati wanita tersebut dan telah
meninggalkan agamanya”.
Berkata Ibnu Katsir, “Ibnul Jauzi menyebutkan dari ‘Abduh
bin Abdirrohim, beliau berkata, “Lelaki celaka ini dahulunya seorang yang
sering berjihad di jalan Allah memerangi negeri Rum, namun pada suatu saat di
suatu peperangan tatkala pasukan kaum muslimin mengepung suatu daerah di negeri
Rum (dan kaum Rum bertahan di benteng mereka-pen), dia memandang seorang wanita
Rum yang berada dalam benteng pertahanan mereka maka diapun jatuh cinta kepada
wanita tersebut. Lalu diapun menulis surat kepada wanita itu, “Bagaimana
caranya agar aku bisa berjumpa dengan engkau?”. Wanita tersebut menjawab, “Jika
engkau masuk ke dalam agama nasrani dan engkau naik bertemu denganku”.
Maka iapun memenuhi permintaan sang wanita”. Dan tidaklah pasukan kaum muslimin
kembali kecuali ia tetap berada di sisi wanita tersebut. Kaum muslimin sangat
sedih tatkala mengetahui akan hal itu, dan hal ini sangat berat bagi mereka.
Tak lama kemudian mereka (pasukan kaum muslimin) melewatinya dan dia sedang
bersama wanita tersebut dalam benteng, mereka berkata kepadanya, “Wahai
fulan, apa yang dilakukan oleh hafalan Qur’anmu?’ apa yang dilakukan oleh
amalanmu?, apa yang dilakukan puasamu?, apa yang dilakukan oleh jihadmu?’ apa
yang dilakukan oleh sholatmu?”, maka iapun menjawab, :”Ketahuilah aku telah
dilupakan Al-Qur’an seluruhnya kecuali firman Allah “Orang-orang yang kafir itu
seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia)
menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan
bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka
akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS. 15:32-3)”, sekarang aku telah
memiliki harta dan a nak di tengah-tengah mereka.”
Ibnul Qoyyim menyebutkan, “Ada seorang pria yang akan
meninggal dikatakan kepadanya, “Katakan lal ilaaha illallaah!”, diapun berkata,
“Dimana jalan menuju kawasan pemandian umum Minjab?”. Ibnul Qoyyim berkata,
perkataannya ini ada sebabnya yaitu pria ini sedang berdiri di depan rumahnya
dan pintu rumahnya mirip dengan pintu kawasan pemandian umum Minjab. Lalu
lewatlah seorang wanita yang berparas ayu dan bertanya kepadanya, “Dimana jalan
menuju kawasan pemandian umum Minjab?”. Pria tersebut menjawab, “Ini adalah
kawasan tempat pemandian umum Minjab (padahal itu adalah rumahnya)”. Maka
masuklah sang wanita ke dalam rumahnya dan diapun masuk juga dibelakang sang
wanita. Tatkala sang wanita mengetahui bahwa di telah masuk ke dalam rumah sang
pria dan dia telah tertipu maka sang wanita menampakkan kepada pria tersebut
kegembiraan dan rasa riang dengan berkumpulnya dia dengan sang pria. Sang wanita
berkata, “Sungguh baik jika bersama kita sesuatu yang mengindahkan hari kita
dan menyenangkan mata”. Pria tersebut berkata, “Tunggulah sebentar aku akan
datang membawa semua yang kau kehendaki dan kau inginkan”. Maka sang priapun
keluar dengan meninggalkan sang wanita sendiri di rumahnya dan dia tidak
mengunci pintu rumah. Lalu iapun mengmbil semua yang dibutuhkan dan kembali
kerumahnya namun ia mandapatkan sang wanita telah keluar dan pergi –dan sang
wanita sama sekali tidak mengkhianati pria tersebut-. Maka sedihlah sang pria
dan selalu mengingat wanita tersebut, dan dia berjalan di jalan-jalan dan
lorong-lorong sambil berkata:
Duhai, kapan ada suatu hari dimana sang wanita yang dalam keadaan letih
berkata, “Bagaimanakah jalan menuju kawasan pemandian umum Minjab?”
Maka tatkala suatu hari dia sedang mengucapkan hal itu
tiba-tiba ada seorang wanita yang menjawabnya dari belokan jalan, dia berkata
‘Kenapa engkau tidak segera menjaga rumah atau menjaga pintu takala engkau
telah mendapatkan sang wanita?”
Maka bertambahlah kesedihannya, dan demikian terus
kondisinya hingga akhirnya bait syair inilah adalah perkataannya yang terakhir
di dunia”
Dari Ibnu Abbas r.a, beliau berkata,“Datang seorang
laki-laki ke Rasulullah s.a.w dalam keadaan berlumuran darah, maka Rasulullah
s.a.w berkata kepadanya,“Ada apa dengan engkau”? Dia berkata,“Wahai Rasulullah
! seorang wanita lewat di depanku maka akupun memandangnya, aku terus
memandangnya hingga akhirnya aku menabrak tembok maka jadilah apa yang engkau
lihat sekarang (aku berlumuran darah). Rasulullah s.a.w berkata,
“Jika Allah menghendaki kebaikan pada hambanya maka Ia
menyegerakan hukuman baginya di dunia”
Berkata Amr bin Murrah,”Saya memandang seorang wanita
yang membuatku terkagum-kagum, lalu matakupun buta, maka saya berharap
kebutaanku ini adalah hukuman bagiku.”
Abu Abdillah bin Al-Jalla’ pernah suatu ketika tidak
menjaga pandangannya, lalu datang seseorang menegurnya seraya berkata
kepadanya, “Engkau akan merasakan akibatnya walaupun di hari kelak”. Dia baru
merasakan akibatnya empat puluh tahun setelah kejadian tersebut. Dia
berkata,“Maka aku menemui akibat perbuatanku setelah empat puluh tahun, aku
dijadikan lupa Al-Qur’an”
Para salaf bisa merasakan bahwa sebagian musibah yang menimpa
mereka merupakan akibat dari kemaksiatan yang telah mereka lakukan, walaupun
kemasiatan tersebut jauh telah lama terjadi. Hal ini dikarenakan mereka jarang
melakukan kemaksiatan sehingga mereka ingat betul kemakisatan-kemaksiatan yang
telah mereka lakukan. Adapun sebagian orang zaman sekarang, jika ditimpa
musibah mereka tidak tahu apa sebab musibah tersebut, bahkan sama sekali tidak
terlintas dalam benak mereka bahwa musibah tersebut merupakan akibat ulah
perbuatan (maksiat) mereka. Kalaupun mereka merasakan bahwa musibah yang
menimpa mereka dikarenakan kemaksiatan, mereka tidak tahu kemaksiatan yang
manakah yang mendatangkan musibah tersbut. Hal ini dikarenakan terlalu banyak
dan beraneka ragamnya kemaksiatan yang telah mereka lakukan sampai-sampai mereka
lupa dengan kemaksiatan-kemaksiatan tersebut.
Renugkanlah wahai saudaraku…lihatlah pria ini, Allah
telah memberikannya anugrah kepadanya dan memuliakannya dengan menjadikannya
menghapal Al-Qur’an, lalu diapun menyia-nyiakan anugrah tersebut dengan suatu
pandangan yang diharamkan oleh Allah. Jika telah hilang ketakwaan maka akan
hilang ilmu, sebagaimana ketakwaan merupakan sebab utama untuk meraih ilmu yang
bermanfaat. Meninggalkan ketakwaan merupakan sebab utama terhalangnya ilmu yang
bermanfaat.
Aku mengadu kepada imam Waki’ tentang buruknya
hapalanku maka beliaupun mengarahkan aku untuk meninggalkan
kemaksiatan.
Ia mengabarkan kepadaku bahwasanya ilmu adalah cahaya…..dan cahaya Allah
tidaklah diberikan kepada orang yang bermaksiat.
Kiat-kiat penting dalam menjaga pandangan mata.
1 Selalu mengingat bahwasanya Allah selalu mengawasi
perbuatanmnu, dan hendaknya engkau malu kepada Allah tatkala bermaksiat
kepadanya dengan mengumbar pandanganmu. Dimana saja engkau berada Allah pasti
mengawasimu. Tatkala engkau di kamar sendiri dihadapan komputer, tatkala engkau
sedang membuka internet, sedang membuka lembaran-lembaran majalah.
2 Ingatlah bahwa matamu akan menjadi saksi atas
perbuatanmu pada hari kiamat. Janganlah engkau jadikan matamu sebagai saksi
bahwa engkau telah memandang hal yang haram, namun jadikanlah dia sebagai saksi
bahwasanya engkau menundukkan pandanganmu karena Allah
3 Ingatlah ada malaikat yang mengawasimu dan mencatat
seluruh perbuatanmu. Jangan sampai malaikat mencatat bahwa engkau telah
memandang wanita yang tidak halal bagimu. Malulah engkau kepada malaikat
tersebut.
4 Ingatlah bahwa bumi yang engkau pijak tatkala engkau
mengumbar pandanganmu juga akan menjadi saksi atas perbuatanmu.
5 Ingatlah akan buah dan faedah-faedah dari menjaga
pandangan. Berkata Mujahid, “Menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan
oleh Allah menimbulkan kecintaan kepada Allah”[39]. Yakinlah jika engkau
menahan pandanganmu maka Allah akan menambah cahaya imanmu, dan engkau akan
semakin bisa merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah. Shalatmu akan bisa
lebih khusyuk
Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa barangsiapa yang
menundukkan pandangannya dari melihat hal-hal yang haram maka dia akan meraih
faedah-faedah berikut ini:
1) Menyelamatkan hati dari pedihnya
penyesalan karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya maka akan berkepanjangan
penyesalan dan penderitaannya. Pandangan ibarat bunga api yang menimbulkan
besarnya nyala api
2) Menimbulkan cayaha dan kemuliaan di
hati yang akan nampak di mata, di wajah, serta di anggota tubuh yang lain
3) Akan menimbulkan firasat (yang baik)
bagi orang yang menjaga pandangannya. Karena firasat bersal dari cahaya dan
merupkan buah dari cahaya tersebut. Maka jika hati telah bercahaya akan timbuk
firasat yang benar karena hati tersebut akhirnya ibarat kaca yang telah
dibersihkan.
4) Akan membukakan baginya pintu-pintu
dan jalan-jalan ilmu
5) menimbulkan kekuatan hati dan
keteguhan hati serta keberanian hati
6) Menimbulkan kegembiraan dalam hati
dan kesenangan serta kelapangan dada yang hal ini lebih nikmat dibandingkan
keledzatan dan kesenangan tatkala mengumbar pandangan.
7) Terselamatkannya hati dari tawanan
syahwat
8) Menutup pintu diantara pintu-pintu
api neraka jahannam karena pandangan adalah pintu syahwat yang mengantarkan
seesorang untuk mengambil tindakan (selanjutnya yang lebih diharamkan
lagi-pen). Adapun menunundukkan pandangan menutup pintu ini
9) Menguatkan akal dan daya fikir serta
menambahnya dan menegarkannya karena mengumbar pandangan tidaklah terjadi
kecuali karena sempitnya dan ketidakstabilan daya pikir dengan tanpa
memperhitungkan akibat-akibat buruk yang akan timbul.
10) Hati terselamatkan dari mabuk kepayang karena syahwat
dan mampu menolak hantaman kelalaian. Allah berfirman tentang orang-orang yang
mabuk kepayang: “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing
di dalam kemabukan (kesesatan)”. (QS. 15:72)
Cara Menundukkan Pandangan
1). Berupaya bersungguh-sungguh untuk membiasakan diri
menjaga pandangan. Dan barang siapa yang berusaha untuk bersabar maka Allah
akan menjadikannya orang yang sabar. Jika jiwamu terbiasa menundukkan pandangan
maka kelak akan menjadi mudah bagimu. Walaupun pada mulanya memang terasa
sangat sulit, namun berusahalah!
2). Menjauhi tempat-tempat yang rawan timbulnya fitnah
pandangan, walaupun akibat dari menjauhi tempat-tempat tersebut engkau luput
dari sebagian kemaslahatanmu. Jika engkau ingin membuka internet bawalah teman
yang bisa menasehatimu sehingga engkau tidak memandang hal-hal yang terlarang,
Sesungguhnya jika engkau membukanya sendiri maka syaithan lebih mudah
menjerumuskanmu. Jauhilah engkau dari menonton film dan sinetron dengan dalih
untuk mengisi waktu luang dan untuk rileks. Demikian juga janganlah engkau
mendekati hal-hal yang merupakan sarana mengumbar aurat wanita hanya karena
alasan untuk mengikuti berita dan mengikuti perkembangan informasi dunia.
3). Jauhkan dirimu dari melihat hal-hal yang tidak perlu,
dengan cara ketika engkau berjalan hendaknya engkau memandang kebawah kearah
jalanmu, dan jangan engkau mengumbar pandanganmu ke kanan, ke kiri, dan
kebelakang. Karena barangsiapa yang mengumbar pandangannya pasti dia akan
terjerumus untuk memandang perkara yang diharamkan oleh Allah.
4). Banyak membasahi lisan dengan dzikir kepada Allah,
karena dzikir merupakan benteng dari gangguan syaitan. Biasakanlah dirimu
dengan membaca dzikir pagi dan petang demikian juga dengan dzikir-dzikir yang
lain, terlebih lagi di kala fitnah aurat wanita berada di hadapannya hingga
engkau bisa menolak gangguan syaitan. Dengan berdzikir maka engkau akan
tersibukkan mengingat kebesaran Allah sehingga tidak terlintas keinginan
memandang hal-hal yang haram. Dengan berdzikir engkau akan semakin malu kepada
Allah untuk memandang perkara yang tidak halal bagimu.
5). Jika engkau belum menikah maka menikahlah.
Sesungguhnya dalam pernikahan terlalu banyak manfaat untuk membantu engkau
menundukkan pandanganmu
6). Jika engkau telah beristri ingatlah bahwa dengan
mengumbar pandangan syaitan menjadikan engkau tidak menikmati apa yang telah
Allah halalkan bagimu. Syaitan menghiasi perkara yang haram yang telah engkau
lihat dengan seindah-indahnya padahal tidak sesuai dengan kenyataan. Barang
siapa yang menjaga pandangannya maka dia akan menemukan kenikmatan pada apa
yang telah dihalalkan Allah baginya.
7). Pengorbananmu dengan menahan matamu dari memandang
hal-hal yang menawan namun diharamkan bagimu, akan diganti oleh Allah dengan
yang lebih baik lagi bagimu. Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena
Allah kecuali Allah akan menggantikan bagi engkau yang lebih baik darinya”
Jika yang akan engkau pandang adalah wanita yang cantik
dan molek ingatlah bahwa Allah akan menggantikannya dengan yang jauh lebih
cantik, molek dan montok, ketahuilah! dialah bidadari. Ingatlah janji yang
Allah berikan pada orang-orang yang bertakwa yaitu bidadari di surga yang
kecantikannya tidak bisa dibandingkan dengan wanita di dunia. Betapapun engkau
berusaha untuk membayangkan kecantikannya dan kemolekan tubuhnya, maka engkau
tidak akan pernah bisa membayangkannya. Bidadari lebih cantik dan lebih molek
dan lebih menawan dari yang kau khayalkan karena sesungguhnya Allah menyediakan
bagi hamba-hambaNya yang bertakwa di surga apa yang tidak pernah mereka lihat,
dan tidak pernah mereka dengar dan tidak pernah terlintas dalam benak mereka.
8). Hendaknya engkau selalu mengingat nikmat yang telah
Allah berikan kepadamu, dan engkau akan dimintai pertanggungjawaban atas nikmat
tersebut, untuk apakah nikmat tersebut engkau manfaatkan? Pandangan mata adalah
nikmat yang luar biasa, tentunya bentuk syukur engkau atas nikmat pandanganmu
itu hendaknya enggau gunakan untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah. Berkata
Ibnul Jauzi,“Fahamilah wahai saudaraku apa yang akan aku wasiatkan kepadamu.
Sesungguhnya matamu adalah suatu nikmat yang Allah anugrahkan kepadamu, maka
janganlah engkau bermaksiat kepada Allah dengan karunia ini. Gunakanlah karunia
ini dengan menundukkannya dari hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau akan
beruntung. Waspadalah! Jangan sampai hukuman Allah (karena engkau tidak menjaga
pandangan) menghilangkan karuniaNya tersebut. Waktumu untuk berjihad dalam
menundukkan pandanganmu terfokus pada sesaat saja. Jika engkau mampu
melakukannya (menjaga pandanganmu di waktu yang sesaat tersebut) maka engkau
akan meraih kebaikan yang berlipat ganda dan engkau selamat dari keburukan yang
berkepanjangan”.[43]Jika engkau memang telah terlanjur memandang wanita yang
tidak halal engkau pandangi dan hatimu telah terkait dengannya, sulit untuk
melupakannya maka beristigfarlah kepada Allah dan berdoalah kepada Allah agar
engkau bisa melupakannya. Berkata Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Furu’,[44] “Dan
hendaknya orang yang berakal menjauhi sikap mengumbar pandangan karena mata
melihat apa yang tidak ia mampui (apalagi) yang dipadangnya bukan pada hakikat
yang sebenarnya. Bahkan terkadang hal itu menyebabkan mabuk kepayang maka
rusaklah tubuhnya dan juga agamanya. Barangsiapa yang terkena musibah seperti
ini maka hendaknya ia memikirkan aib-aib para wanita. Ibnu Mas’ud berkata,
“Jika seorang wanita membuat salah seorang dari kalian
takjub maka hendaknya ia mengingat hal-hal yang bau dari wanita tersebut,
sungguh tidak ada yang lebih menakjubkan tentang aibnya para wanita di dunia
dengan firman Allah |وَلَهُمْفِيهَاأَزْوَاجٌمُطَهَّرَةٌ} (dan untuk mereka
di surga istri-istri yang suci)”,
Ya Allah aku berlindung kepadamu dari keburukan
pendengaranku, dari keburukan pandanganku, dari keburukan lisanku, dari
keburukan hatiku, dan dari keburukan maniku (kemaluanku)[46]